PASRAH DIRI KEPADA TUHAN


Baba memberi tahu bakta-Nya bahwa Beliau adalah peng- huni sejati setiap hati, dan jika dipanggil, Beliau dengan senang hati akan membimbing hidup kita untuk mencapai tujuan spiritual yang agung. Pencapaian tujuan spiritual yang agung pasti diinginkan oleh setiap orang. Kita menghendakinya, dan Baba bersedia. Jadi, mengapa segala sesuatu tidak langsung cocok?

Jika masalahnya sesederhana seperti kelihatannya pada pandangan pertama, kita akan berada dalam keadaan bahagia. Bahwa hal ini tidak begitu mudah dipahami terlihat dari diskusi dan pertanyaan yang tiada akhirnya tentang topik pasrah kepada Tuhan yang timbul bila bakta berkumpul di retret Sai dan di meja diskusi. Jika kita ingin agar Baba mengambil alih tanggung jawab dalam perjalanan hidup kita, jelas kita perlu menyerahkan hidup kita kepada Beliau dan membiarkan Beliau menjadi sais (yang mengemudikannya). Tentang hal ini, Sri Rāmakrishna—seorang suci yang sudah mencapai kesadaran Tuhan—berkata, “Tidak ada jalan yang lebih aman dan lancar bagi seorang bakta selain (memberikan) surat kuasa. Ini berarti memasrahkan diri pada kehendak Yang Mahakuasa, dan tidak mempunyai kesadaran memiliki apa pun. Jika manusia memperoleh keyakinan bahwa segala sesuatu dilakukan oleh kehendak Tuhan, maka orang itu menjadi alat di tangan Tuhan, dan bahkan dalam hidup ini pun ia sudah bebas (dari lingkaran kelahiran dan kematian). Orang yang bisa menyerahkan dirinya pada kehendak Tuhan Yang Mahakuasa dengan iman yang sederhana dan kasih yang tulus akan menyadari Tuhan dengan cepat.”

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah,  bagaimana  kita bisa menyerahkan hidup kita kepada Baba, dan apakah sesungguhnya pasrah itu? Apakah artinya? Baba sendiri bertanya, “Engkau berkata bahwa engkau menyerahkan diri kepada-Ku. Bagaimana engkau akan menye- rahkan sesuatu yang bukan milikmu, yang bahkan tidak bisa kaukendalikan?”

Dengan berbagai ungkapan, dalam berbagai percakapan, Baba menunjukkan bahwa tubuh dan indra tidak mematuhi kita, bahwa emosi kita meluap dan mereda sekalipun kita tidak menginginkannya, bahwa kita bahkan tidak bisa membuat pikiran menjadi tenang karena pikiran meloncat ke mana-mana seperti kera. Kita memerintah ingatan dan kecerdasan agar tajam dan teliti, tetapi mereka pun sering mengecewakan kita. Berbagai kemampuan yang biasanya kita anggap sebagai “aku” tampaknya bukan “aku”. Karena itu, istilah “aku” menyerahkan “diriku” tidak dapat diterapkan untuk kemampuan-kemampuan mental ini. Dengan ini, Baba tidak mengatakan bahwa kita tidak bisa menyerahkan hidup kita kepadaTuhan, Beliau berkata bahwa kita perlu pergi melampaui dorongan hati kita yang pertama dan dengan sungguh-sungguh menyelidiki tentang “diri yang sejati” dan tentang “penyerahan diri”. Arti kata “menyerahkan diri kepada Tuhan” diberikan oleh orang suci yang telah menyadari Tuhan, Sri Rāmana Maharshi. Beliau berbicara dari pengetahuan langsung. “Menyerahkan diri sama dengan pengendalian diri. Ego hanya menyerahkan diri bila mengakui kekuasaan yang lebih tinggi. Pengakuan itu adalah penyerahan diri. Marilah kita tidak menganggap diri sebagai pelaku, tetapi memasrahkan diri kita kepada kekuatan yang membimbing.” Sri Rāmana Maharshi berkata, tidak ada apa pun untuk diserahkan, “Pengakuan akan adanya kekuasaan yang lebih tinggi merupakan penyerahan diri kepada Tuhan. Tetapi pengakuan akan kekuasaan yang lebih tinggi bukanlah suatu gagasan yang bisa dimasukkan dalam rencana kegiatan kita. Kita hanya bisa mengetahui apa yang dimaksud bila “pengakuan” itu benar-benar terjadi.

Dalam keputusan kita untuk menyerahkan hidup kita pada bimbingan Tuhan, kita belajar bahwa kita tidak dapat menyerahkan berbagai kemampuan yang kita kira adalah aspek utama di dalam diri kita, dan kita diberi tahu oleh Sri Rāmana Maharshi bahwa “pasrah” hanya terjadi bila kita “mengakui adanya kekuasaan yang lebih tinggi”. Segala sesuatu seolah-olah disingkirkan dari kita ke masa depan, ke masa depan ketika kita menjadi lebih bijaksana dan mempunyai pengertian yang lebih baik. Ini adalah beberapa pertimbangan yang membingungkan bakta Sai dan menimbulkan diskusi lebih lanjut bila bakta berkumpul bersama.

Semua keraguan rutin yang disebutkan di atas, ditambah berbagai kebimbangan lain yang mungkin timbul, dapat dipecahkan dengan cepat secara permanen. Kita bisa dibawa kembali dari konsep penyelesaian masa depan menuju kegiatan sekarang, jika kita mau mempelajari ajaran suci Baba dengan sungguh-sungguh. Beliau memberitahu bahwa hanya karena kasih kita dapat menyerahkan diri kepada Tuhan, sekarang juga, bukannya kelak. Saat ini juga, tanpa memikirkannya lebih jauh, kita bisa mulai menyerahkan hidup kita kepada bimbingan Tuhan. Tidak ada kekuatan dari luar diri kita yang dapat mencegah kita menyerahkan diri kepada Tuhan. Saat ini juga kita dapat menyerahkan diri kepada Tuhan dengan membuang segala kelekatan kepada apa pun yang bukan diri kita, dan kita juga dapat melepaskan keterikatan pada perbuatan kita. Pada saat melakukan perbuatan, kita dapat menyerahkan segala kegiatan itu kepada Tuhan. Kita juga bebas. Siapa yang akan mencegah kita? Baba telah berkata bahwa Beliau, yaitu kebijaksanaan dan energi Tuhan yang ada di mana-mana, akan menerima perbuatan kita dan menanggung akibatnya. Terhadap berbagai hal yang kita sebut sebagai“milikku” seperti misalnya: kemarahanku, rasa iriku, ketidakbahagiaanku, pada saat pikiran dan dorongan semacam itu timbul, kita bebas untuk berpaling kepada Tuhan, kekasih hati kita, dan berkata, “Ambillah semua itu, oh Tuhan, mereka tidak saya sukai, mereka bukan milik saya, perasaan-perasaan negatif itu seharusnya tidak berada dalam diri saya, saya tidak lagi terikat kepada mereka.” Baba pernah memberi tahu penulis, “Itu tepat dan benar, berikan semua (perasaan negatif) itu kepada-Ku.”

Kemudian ada unsur yang paling penting dari semuanya yaitu: diri kita yang sejati dapat menyerahkan diri kepada Tuhan, dan tidak ada seorang pun dapat berkata “tidak”. Apakah diri kita yang sejati? Diri kita yang sejati adalah kasih. Kita adalah kasih itu sendiri, dan kita dapat mempersembahkan kasih itu kepada Tuhan. Kasih adalah sifat kita, tidak bisa dibatalkan. Bahkan manusia yang paling bejat akhlaknya pun mempunyai kasih   di lubuk hatinya, dan untuk mengubah hidupnya sepenuhnya, ia hanya perlu menyerahkan kasih itu, dirinya sendiri, kepada Tuhan. Dengan penuh kegembiraan, saat ini juga kita bisa mulai menyerahkan diri kita kepada Tuhan dengan memberikan diri kita sendiri, dengan memberikan kasih kepada nama dan wujud Tuhan yang paling kita sayangi.

Tidak ada seorang pun atau apa pun yang dapat mencegah kita untuk berbakti kepada Tuhan, untuk mencintai-Nya, untuk mengakui Beliau sebagai kekuasaan yang membimbing, dan untuk menyerahkan diri pada kehendak Tuhan. Hal itu telah dibuktikan berkali-kali dalam kehidupan dan kematian kejam yang dialami para martir yang tidak terhitung jumlahnya. Kita dapat menyerahkan diri dengan penuh kasih kepada Baba, dan Beliau berkata bahwa yang Beliau kehendaki hanyalah kasih kita. Itu sudah cukup. Segala hal lainnya akan berlangsung dengan sendirinya secara wajar dan mudah. Kita bahkan tidak perlu merisaukan kemuliaan penyerahan akhir dari yang khusus (yaitu kesadaran pribadi) kepada kesadaran semesta. Dalam kasih, hal itu pun akan terjadi secara wajar dan mudah pada waktunya. Baba berkata demikian, dan kita boleh mempercayainya dalam kasih. Pasti saat ini kasih kita belum bersinar dalam segala kemu- liaannya. Awan yang gelap menutupi matahari dalam cuaca mendung, tetapi itu tidak mengingkari adanya matahari. Tidak lama kemudian datanglah angin yang menyapu awan gelap itu. Dalam kasus kita, ajaran Baba yang suci akan menyapu awan gelap pikiran, konsep, dan berbagai perasaan pahit yang mengaburkan dan agaknya mengurangi keutuhan kasih kita.

Karena itu, mari kita singkirkan kekhawatiran, keraguan, serta protes, dan hari ini juga mulai mengasihi Tuhan dengan segenap hati kita. Marilah kita pada hari ini juga menyerahkan diri sepenuhnya pada kebijaksanaan dan bimbingan Tuhan, dan mengetahui bahwa pelaku (segala perbuatan) adalah Beliau, bukan kita. Menjadi ibu adalah anugerah yang paling berharga dari Tuhan. Para ibulah yang membuat negara terberkati atau tidak terberkati karena merekalah yang membina sumber kekuatan bagi jiwa suatu bangsa. Kekuatan ini dikukuhkan dengan dua pelajaran yang harus mereka berikan: takut berbuat dosa, dan menyukai kebajikan. Keduanya didasarkan pada iman kepada Tuhan sebagai penggerak batin segala makhluk.

Jika engkau ingin tahu betapa majunya suatu negara, pelajarilah para ibunya: apakah mereka bebas dari rasa takut dan khawatir, apakah mereka penuh kasih terhadap semuanya, apakah mereka terlatih dalam ketabahan dan kebajikan? Jika engkau ingin meresapkan kemuliaan suatu peradaban, perhatikanlah para ibu yang mengayun buaian, memberi makan, mengasuh, mengajar, dan menimang bayi mereka. Sebagaimana kaum ibunya, maka demikianlah kemajuan bangsa itu; sebagaimana kaum ibunya, maka demikian pulalah keindahan peradaban itu.